Gelombang Pendidikan Sastra
Oleh Aan Frimadona Roza
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMPN 4 Baradatu Way Kanan
Menelaah puisi-puisi dan catatan dewan
juri Batu Bedil Award yang dimuat Lampung Post, Minggu, 5 Desember 2010,
dalam rangkaian Festival Teluk Semaka 2010, saya benar-benar seperti
diajak mengarungi keluasan samudera yang tak berbatas. Setidaknya bagi
saya yang tengah menjadi penumpang sekaligus nakhoda dalam bahtera
sistem pendidikan membuat saya bertambah yakin betapa lomba cipta puisi
seperti ini tidak hanya memberi dampak positif bagi promosi pariwisata
dan budaya daerah bersangkutan, tetapi juga bersinggungan dengan tujuan
mulia lain, yaitu meningkatkan derajat pendidikan khususnya bidang
kesusasteraan.
Meningkatkan derajat pendidikan yang saya maksud dalam konteks ini
adalah betapa pendidik seperti saya bersama-sama para siswa akan lebih
aktif untuk belajar langsung melalui impresi-impresi, pengalaman visual,
pengalaman auditif maupun pengalaman kinetik yang kesemuanya kerap
disebut sebagai “pengalaman puitik”. Di sisi lain, guru pun akan lebih
aktif menambah kapasitas dirinya sebagai pendidik, khususnya guru mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang kadung dianggap masyarakat
telah mengetahui segala ihwal kesusasteraan.
Ketika pendidik dan siswa dapat bersama-sama memaknai sebuah karya
sastra yang berangkat dari lingkungan alamnya, keesaan Tuhan, perilaku
manusia, keindahan alam dan sebagainya serta-merta saya teringat tujuan
pendidikan yang diungkapkan bapak pendidikan nasional kita, Ki Hajar
Dewantara. Tujuan pendidikan yang semestinya adalah memanusiakan
manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai perikemanusiaan, serta membangun
budi pekerti.
Tidak hanya pada tataran siswa saja konteks pencapaian kesusasteraan,
tetapi pada guru khususnya bagi guru bahasa dan sastra juga guru seni
budaya akan memberikan suatu sistem pengajaran yang dinamis. Selama ini
siswa melulu dijejali dengan teori-teori pengajaran kesusasteraan saja,
akan tetapi sedikit banyak ada semacam praktek langsung kepada peserta
didik untuk mengejewantahkan dari teori yang didapat selama ini. Hal ini
akan menambah daya kreativitas guru akan membangun suasana pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) yang selama ini
didengung-dengungkan.
Membaca ulasan dewan juri yang menyebutkan bahwa ada 103 puisi yang
dinilai, saya berharap-harap cemas apakah karya-karya puisi itu
didominasi oleh peserta pelajar khususnya dari Provinsi Lampung? Kalau
jawabannya “ya” tentulah hal ini menjadi kabar sukacita bagi
keberlangsungan regenerasi kesusasteraan di provinsi ini, tetapi bila
jawabannya “tidak” tentulah ada pertanyaan besar ikutan selanjutnya: Ke
mana para siswa dan para pendidik khususnya guru bahasa dan sastra atau
guru seni budaya yang begitu meyakini bahwa suasana pembelajaran yang
mereka lakukan telah aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan?
Apakah ada yang salah di dunia pendidikan sastra kita? Kurikulum yang
kurang menyentuhkah? Pendidik yang tidak berkapasitas mumpunikah? Atau
jangan-jangan? Ah, saya mungkin terlalu banyak bermimpi: Membayangkan
para siswa dan guru saling membaca puisi mereka di bawah pohon nan
rindang atau di selasar sebuah ruang kelas dengan duduk bersila dengan
suasana hangat saat jam istirahat tiba.
Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap apa yang
dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus dalam
menyelenggarakan Lomba Cipta Puisi Nasional Batu Bedil Award 2010 dalam
rangkaian Festival Teluk Semaka tahun ini. Hal ini merupakan
terobosan-terobosan dalam mengairahkan perkembangan sastra khususnya di
Provinsi Lampung yang kita cintai ini setelah dimulai pertama kali oleh
Dewan Kesenian Lampung pada 2002 dengan Lomba Penulisan Puisi bertajuk
Krakatau Award.
Momen Batu Bedil Award 2010 ini bisa jadi titik tolak untuk dapat
ditiru oleh kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Lampung, dengan tidak
hanya melibatkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata saja, tetapi juga
berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dengan berperan mengompori guru
dan siswa di sekolah untuk menyukai dan mengikuti kegiatan
kesusasteraan.
Inilah yang saya maksudkan sebagai gelombang pendidikan sastra,
apabila ada kegiatan serupa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Tanggamus ini juga dilakukan di Kabupaten Way Kanan yang memiliki agenda
tahunan Festival Radin Jambat, di Kota Bandar Lampung dengan Festival
Kesenian Bandar Lampung, di Kabupaten Lampung Timur dengan Festival Way
Kambas, di Kabupaten Lampung Barat dengan Festival Teluk Stabas, di
Kabupaten Lampung Utara dengan Festival Kesenian Akhir Tahun, di Metro
dengan Festival Kesenian Kota Metro ataupun di kabupaten lain yang
menggagas di mana di situ ada semacam rangkaian dalam anugrah karya
sastra entah itu puisi atau cerpen. Hal ini akan menjadi “darah segar”
untuk denyut sebuah kegiatan yang kerap terjebak pada rutinitas
seremonial belaka.
Saya membayangkan ribuan siswa dan ratusan guru bahasa dan sastra
juga seni budaya seprovinsi ini akan bersama-sama menafsir tentang
Lampung dan segala ihwal sejarah yang pernah, sedang dan akan terjadi
lalu dituangkan dalam sebuah karya? Bukankah ini menjadi “data empirik”
yang luar biasa bobotnya ketika harus dihadapkan dengan data-data
statistik ketika masyarakat dan pemerintah sudah semakin pragmatik?
Meskipun demikian, saya teramat menyadari, akan ada banyak kendala
ketika guru–guru bahasa dan sastra ataupun guru-guru kesenian yang minim
pengalaman membuat karya sastra, jarang terlibat forum-forum diskusi,
pelatihan-pelatihan pembuatan karya sastra semacam workshop, seminar dan
sebagainya sehingga menimbulkan efek domino: Guru menjadi tidak percaya
diri dalam “menguasai medan sastra” apatah lagi para siswanya?
Meskipun saya rasakan catatan dewan juri Batu Bedil Award 2010 itu
kurang menguliti lebih dalam dan perinci tentang karya-karya yang layak
menjadi pemenang sehingga dapat menjadi sumber pustaka bagi pengayaaan
guru dan murid, tetapi saya tetap meyakini bahwa setiap momen kesenian
di daerah dapat menjadi riak-riak kecil yang terus menggumpal yang akan
menjadi gelombang dahsyat bagi perkembangan pendidikan sastra di daerah.
Semoga saja hasil kegiatan lomba penulisan puisi nasional ini benar
akan diterbitkan dalam buku seperti janji dewan juri, karena dengan
demikian bertambah kaya lagi literatur kesusasteraan asal provinsi ini
yang kemudian akan dikancah, dianalisis, diperdebatkan secara akademis
dengan pengharapan munculnya gagasan-gagasan dan teori-teori baru.
Akhirnya, ucapan selamat kepada para peraih Batu Bedil Award 2010
juga tahniah kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus
yang berani dan kreatif untuk lebih dahulu memulai membuat “momentum
budaya baru” di tingkat kabupaten di provinsi ini maka sebagai orang
yang berdomisili di Kabupaten Way Kanan tentunya saya tidak berlebihan
apabila kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Tanggamus ini dapat juga dilakukan di bumi ramik ragom karena
saya tetap meyakini hidup ini singkat tapi seni tetap abadi. Ars longa,
vita brevis. (Sumber: Lampung Post, 18 Desember 2010)
Like this:
Be the first to like this post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar