Minggu, 27 April 2014

Melawan Kekerasan, Siapa Takut?

Melawan Kekerasan, Siapa Takut?

Aan Frimadona RozaOleh Aan Frimadona Roza, S.Pd
Mengajar di SMPN 4 Baradatu
Tindak kekerasan di sekolah umumnya melibatkan anak-anak dengan kategori nakal atau bermasalah, yang disebutnya sebagai anak-anak istimewa dan khusus, sehingga harus disikapi dengan cara yang khusus pula.”Diperlukan suatu pendekatan dan strategi khusus. Guru harus kaya akan cara dan sensitif terhadap gejala psikologis murid-muridnya,” (Mohammad Sobari , Budayawan Kompas.com, Kamis 4/10/2012) .
Maraknya aksi kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar menuntut guru harus memiliki variasi cara penanganan dan sensitivitas untuk sigap merespons gejala psikologis para peserta didiknya. Beberapa media cetak dan elektronik memuat dalam headline berita mereka dalam beberapa minggu ini, puncaknya telah merengut korban disalah satu sekolah yang bertikai pada aksi tawuran antar sekolah di Jakarta kemarin. Melihat aksi kekerasan yang terjadi didunia pendidikan menuntut peran Guru untuk bertindak sensitive terhadap peserta didik untuk memahami karakter dari peserta didik untuk lebih menjauhkan sikap yang mendekati budaya kekerasan, sebenarnya Guru didukung oleh kurikulum yang memikirkan cara untuk mendidik anak-anak sesuai dengan karakteristiknya dan mengembangkan diri mereka sesuai dengan keahliannya. Idealnya kekerasan tidak akan terjadi tatkala peserta didik mampu dibekali menjadi manusia merdeka, berakhlak, dewasa, dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
Kekerasan yang dianggap biasa atau disebut dengan bullying, akan mengakibatkan hal yang sangat fatal sebab indikasi penyemaian adanya bibit kekerasan fisik maupun mental sering terjadi pada kalangan pelajar yang akan berdampak buruk bagi mereka, sebagai pelajar yang mau tidak mau akan melahirkan suatu budaya kekerasan dilingkungan mereka entah itu dilingkungan keluarga, lingkungan sekolah bahkan dilingkungan masyarakat tempat mereka berada. Kekerasan menjadi kebiasaan yang kerap mereka lakukan dari yang ringan sampai hal yang sangat mengerikan bagi mereka yang masih mengeyam bangku pendidikan. Kekerasan juga bukan terjadi di fisik saja tetapi kekerasan juga pada mental (prasaan tekanan,ejekan,cemoohan dsb). Dilingkungan pendidikan hal-hal yang mengarah kekerasan fisik dan mental kerap terjadi baik itu antar siswa atau siswa dengan unsur lain, tawuran menjadi trend issu akhir-akhir ini mungkin dampak budaya yang didapat mereka (pelajar) diberbagai lingkungan yang lebih mengkhawatirkan lagi adanya aksi tawuran merupakan hal yang anggap ”biasa”. Itulah ”bullying”. Bullying itu bisa berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan, intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, sampai kekerasan fisik. Semakin si korban merasa tertekan atau takut, semakin senang pelaku bullying (Yayasan Semai Jiwa,LSM penggiat anti bullying).
siswa yang di rumah dijadikan bulan-bulanan orangtua (berarti korban), bisa mengalihkan rasa kesalnya dengan menggertak teman di sekolah (pelaku). memukul adalah hal biasa karena dia pun sering dipukul. Perilaku keras orang tua kepada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah juga memberikan dampak pengalaman buruk bagi anak, yaitu kekerasan dan tekanan ekonomi yang mengimpit batin sehingga bisa menjadi anak yang sulit dikendalikan karena merasa kesepian, terbuang, rendah kepercayaan dirinya. Prilaku Bullying memiliki reaksi yang berdampak bagi dirinya, ada tiga, yakni Fight, yang berarti ia melawan, menunjukkan rasa marah dengan mengamuk, Flight, melarikan diri dari luka batin, ini bisa ke arah negatif seperti narkoba, miras, internet tak sehat/pornografi, dan Freeze, sikapnya ”membeku”, ia kehilangan nalar sehat, tak mampu berpikir, depresi, tak termotivasi untuk hidup (Yayasan semai jiwa, lembaga penggiat anti bullying). Korban bullying yang memilih Fight, dia akan mengeluarkan energi marahnya tanpa rasa takut. Ini lalu membuat dia jadi pelaku bullying. Tetapi kalau korban bereaksi Freeze, dia benar-benar korban yang memerlukan empati, bahkan pada tingkat yang lebih parah bisa jadi depresi (Yayasan Semai Jiwa,LSM penggiat anti bullying).
Hal yang lain pula disekolah mungkin siswa mendapatkan suatu tindakan kekerasan bisa berupa
terjadi penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seseorang/sekelompok. Ini bisa berdampak terhadap fisik dan mental anak tsb. Bentuk bullying bisa kekerasan fisik (menampar, menendang), verbal (menghina, memaki), ataupun mental (mengancam, mempermalukan). Keresahannya makin menjadi karena pendidikan di Indonesia terkesan membiarkan kekerasan, sampai ada korban jiwa. Dukungan guru dan pemerintah terhadap MOS (Masa Orientasi Sekolah) sering disalahgunakan sebagai ajang bullying dari senior terhadap yunior. Pada MOS atau OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus), siswa baru atau mahasiswa baru harus menerima apa pun perlakuan dari seniornya. Mereka tampak tak berdaya. Saat inilah awal bullying berkelanjutan atau lingkaran bullying terjadi, (Yayasan Semai Jiwa,LSM penggiat anti bullying). Di sini para senior mendapatkan korban empuk untuk dijadikan sasaran kemarahan atau kekecewaan, yang umumnya mereka bawa dari rumah. Hal yang merisaukan adalah, perilaku jagoan dari senior itu menjadi teladan bagi yuniornya, yang langsung meniru begitu ada kesempatan. Apalagi kalau para senior memang berniat merekrut yunior untuk meneruskan tradisi kekerasan.
Sebab lain juga dilingkungan peran guru dalam komunikasi sangat berpengaruh akan tindakan sikap dan prilaku siswa misalkan menangani siswa yang memeliki kenakalan dalam sekolah entah itu pada proses belajar mengajar atau pelanggaran tata tertib sekolah. Penanganan yang mendekati budaya kekerasan akan memberikan dampak bullying pada tataran lingkungan sekolah dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap budaya kekerasan dilingkungan pendidikan. Kondisi itu pula diperburuk penilaian di sekitar kita yang tak menjadikan bullying sebagai masalah. Akibatnya, sampai menjadi mahasiswa, bahkan sudah bekerja pun, korban bullying tetap tak mampu membela diri. Sedangkan pelaku bullying (karena tak merasa bersalah dan tak pernah dikoreksi orang tua/guru) makin menjadi-jadi, kekerasan menyatu dalam kepribadian mereka.
Peran orang tua dan guru
Melawan bullying peran kedekatan hubungan keluarga penting untuk membantu anak memiliki rasa aman. Kondisi itu berdampak pada kerja otak yang seimbang, termasuk hormonnya. Biasanya anak jadi percaya diri, mampu berpikir, kreatif, pandai bergaul, dan bersemangat. Potensi dirinya akan muncul, berbagai kecerdasannya siap diasah. Dia siap berprestasi. Kondisi itu tak memandang latar belakang sosial-ekonomi keluarga. Sebaliknya, perilaku keras orang tua kepada anak juga bisa terjadi pada semua kalangan (yayasan semai jiwa,penggiat anti bullying). Kesadaran itu tak hanya di antara siswa, tetapi juga dari guru kepada siswa. Peran Guru sangat membantu sekali untuk penyadaran menghilangkan budaya kekerasan karena sekolah tempat berkumpul dalam proses penyadaran menuju ke arah yang baik dengan melibatkan semua elemen guru,siswa dan orang tua. Untuk mengurangi bullying, perlu pemahaman tentang perilaku bullying dan seluk beluknya. Ini bisa diajarkan lewat salah satu mata pelajaran di sekolah seperti PPKN atau pendidikan karakter. Memberikan pengetahuan tentang apa itu bullying memberikan dampak bagi siswa akibatnya mereka memperbaiki sikap nya. Ada pelaku yang langsung menghentikan sikap kerasnya, bahkan ada anak yang lalu menjadi pelatih untuk mengajarkan antikekerasan seperti meningkatkan sikap respek, kasih, peduli dan toleran,( penelitian yayasan semai jiwa penggiat anti bullying pada siswa tingkat SD dan SMA di Jakarta). Disekolah banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi bullying yang memerlukan peran aktif guru dalam memprovokatif siswa untuk mempersempit ruang gerak siswa dalam penggunaan waktu yang kurang positif. Siswa dapat mengekspresikan diri secara positif dengan penyediaan berbagai srana diskolah, kegiatan ekstrakulikuler misalnya seperti pramuka, kegiatan seni, olahraga atau kegiatan social keagamaan. Buat pelaku bullying lebih baik kalau pelaku diberi sanksi yang mendidik membersihkan sarana fasilitas umum seperti mushola,laboratorium, perpustakaan atau lainya sedangkan untuk menolong korban, kita bisa menunjukkan empati, tapi jangan berlebihan buat korban merasa nyaman.
Mengampanyekan antibullying ke sekolah bukan perkara mudah. Apalagi pendidikan atau pendisiplinan dengan cara keras diyakini banyak guru hingga pejabat pendidikan sebagai hal biasa bahkan mengampanyekan antibullying sangat memiliki tantangan yang sangat keras dilain pihak sekolah umumnya masih defensive dan berkeyakinan bahwasanya pendidik harus keras sebab mereka beralasan mereka (guru) juga dulu dikerasi dan bisa sukses.Penyadaran pendidik untuk masuk mengkampanyekan antibullying harus memiliki kesadaran yang sangat tinggi bagaimana sentuhan guru sangat memiliki peran yang vital dalam menghilangkan bullying dalam lingkungan sekolah, kesadaran akan hak anak yakni hak untuk hidup, tumbuh kembang, dilindungi, dan berpartisipasi di bidang apa pun yang berkaitan dengan mereka.
Pendisplinan secara positif akan hak anak dengan berinteraksi dengan anak dengan cara menghormati mengajaknya berempati, bertoleransi dan menghormati perbedaan. Dampak budaya kekerasan bullying sangat mempengaruhi perkembangan otak anak yang dapat membuat daya nalar anak tak berjalan. Menjadikan budaya anti kekersan dilingkungan sekolah memang sangat membutuhkan tenaga yang ekstra, panggilan hati guru dan orang tua untuk memberikan arah yang benar bagi anak akan menguatkan karakter luhur dan bagian otak yang membuat mereka jadi manusia utuh secara emosi, cerdas, tak mudah marah, tak takut dan tak terlecehkan.semoga. (Email: aanfrimadonaroza@yahoo.co.id)

Kontak Kami

Media Online
SuaraGuru.WordPress.Com
Alamat Redaksi:
Gedung Pers (Balai Wartawan)
Jl. Taman Apsari 15-17  Surabaya
Telepon (031) 833 53536 Faks. (031) 872 0450
Email: suara.guru@yahoo.co.id
Kontak Person:
H. Slamet Hariyanto, S.Pd, SH, MH. (Pemimpin Redaksi)
Hp. 081 134 3879
Djenny M Zainuri, S.Ag. (Redaktur)
Hp. 081 331 315592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar